Senin, 05 Desember 2011

Potret dunia Pendidikan

Bum! Dentuman bom atom yang jatuh di Nagasaki dan Hiroshima, Jepang, pada tahun 1945 itu pun menjadi catatan sejarah dunia. Jepang porakporanda. Bertepatan dengan tahun yang sama di Indonesia, tepatnya 17 Agustus 1945, bangsa kita merayakan kemerdekaan sebagai tanda lepasnya dari tangan penjajahan. Negara Jepang hancur, Indonesia merdeka. Logika berbicara, negara yang cepat maju karena lebih awal berkesempatan membangun diri tentu bangsa kita, Indonesia. Api jauh dari panggang, realita menunjukkan fakta sebaliknya, saat ini Jepang lebih unggul membangun diri dan jauh meninggalkan Indonesia. 

Kunci kesuksesan negara Jepang membangun diri adalah, peduli terhadap pembangunan Sumber Daya Manusia dengan cara memperhatikan pendidikan masyarakatnya. Langkah awal yang dilakukan pemerintah Jepang pascabom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat (AS) pada tahun 1945 itu adalah, mengirim pelajar-pelajar Jepang ke luar negeri untuk belajar dengan misi membangun Jepang kembali. Buku-buku barat diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang agar mempermudah transfer ilmu pengetahuan dan teknologi barat. Kemudian buku-buku pengetahuan itu dijual dengat sangat murah sehingga mempermudah masyarakat memperolehnya. Dari situ timbullah kegemaran membaca pada sebagian besar masyarakat Jepang. 

Jepang sadar betul ujung tombak pendidikan adalah guru. Maka pemerintah dan masyarakat Jepang sangat menghargai sosok seorang guru, baik secara finansial maupun moral. Bayangkan untuk guru yang baru mengajar saja Jepang berani memberi honor sebesar 200 ribu yen atau sekitar Rp16 juta per bulan. Dan untuk guru honor senior di Jepang gajinya bisa mencapai 500 ribu yen atau sekitar Rp40 juta. Tidak heran bila dedikasi tercurah penuh terhadap profesi guru karena kerja mereka dihargai secara pantas. Robert C. Christopher, mantan koresponden majalah Newsweek yang tinggal di Jepang pernah berujar, "lihatlah sikap para guru Jepang, perhatian mereka sampai ke totalitas kehidupan murid mereka". 

Bagaimana di Indonesia? 

Pendidikan masyarakat Indonesia jauh tertinggal. Hal ini didukung oleh kurangnya perhatian pemerintah. Kalaupun ada perhatian namun tidak dikelola secara serius dan profesional. Di tambah pula proses manajemen yang tidak transparan dan kebijakan yang tidak tepat sasaran, semakin membuat dunia pendidikan bangsa kita dirundung persoalan. Tak heran, kalau bicara tentang pendidikan nasional terkesan selalu yang buruk-buruknya saja. 

Setiap ada perubahan menteri, persoalan yang hangat diperbincangkan selalu berkutat pada masalah undang-undang, kurikulum, kebijakan ujian, insensif para guru dan keterbatasan anggaran. Namun demikian kebijakan yang diambil selalu saja mengecewakan. Padahal negara kita dianggap salah satu negara yang memiliki sumber daya alam yang memadai sebagai modal utama untuk membangun negara. Namun kenyataannya kemiskinan dan pengangguran tetap mejadi musuh utama serta terus merasa kurang dalam pendanaan. Kita mungkin sudah lupa bahwa kemajuan sebuah bangsa terletak dari baik-buruknya kualitas manusia atau indeks pembangunan manusianya. Hal inilah yang disadari betul oleh negara Jepang sehingga mampu menjawab persoalan dan bangkit dari keterpurukannya terutama pasca perang dunia II. 

Jhon Neisbitt dalam bukunya Mega trend 2000 mengingatkan kita dengan mengatakan: "Suatu negara miskin pun bisa bangkit, bahkan tanpa sumber daya alam yang melimpah ruah, asalkan negara yang bersangkutan melakukan investasi yang cukup, yaitu dalam hal kualitas sumber daya manusianya". 

Bagaikan lingkaran setan 

Rendahnya perhatian pemerintah akan perlunya pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas menyebabkan terjadinya kemerosotan di dunia pendidikan. Akibatnya, terjadi peningkatan kemiskinan dan pengangguran yang disusul merebaknya tindakan kejahatan di tengah masyarakat. Kebodohan menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan terhalangnya mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Karena tidak berpendidikan dan tidak memiliki pengalaman apapun, menjadi pengangguran dan melakukan tindakan deviant (menyimpang). Kebodohan, pendidikan, kemiskinan, pengangguran, dan tindak kejahatan, begitulah seterusnya bagaikan lingkaran setan. 

Tidak heran bila persoalan kemiskinan ini pulalah yang dianggap sebagai permasalahan utama yang harus dihadapi oleh negara-negara Asia-Afrika ke depan, sebagaimana yang disampaikan oleh sejumlah pemimpin negara yang ikut dalam peringatan ke-50 tahun Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KAA) yang belum lama ini diselenggarakan di Jakarta. 

"Lingkaran setan" di lembaga dunia pendidikan itu, begini ceritanya. Ada tuduhan yang menyebabkan rendahnya mutu mahasiswa Indonesia disebabkan Perguruan Tinggi (PT) yang tak berkualitas. PT lalu menyalahkan sekolah menengah tingkat atas (SMA) yang tidak becus memproduksi calon mahasiswa. Pihak SMA kemudian menyalahkan sekelohah menengah tingkat pertama (SMP) yang tak berhasil mendidik muridnya. Pihak SMP pun menyalahkan sekolah tingkat dasar (SD) yang tak becus mendidik anak-anaknya. Lalu pihak SD pun menuduh pihak PT tidak becus memproduksi calon guru yang berkualitas dalam mengajar. Begitulah seterusnya bagaikan lingkaran setan. Sebuah dilema. Memang. 

Menakar SDM Indonesia 

Ada beberapa faktor yang menentukan kesuksesan dan keberhasilan dalam pendidikan. Faktor-faktor itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pertama, faktor perangkat keras (hardware), yang meliputi ruangan belajar, peralatan praktik, laboratorium, perpustakaan; kedua, faktor perangkat lunak (software) yaitu meliputi kurikulum, program pengajaran, manajemen sekolah, sistem pembelajaran; ketiga, apa yang disebut dengan perangkat pikir (brainware) yaitu menyangkut keberadaan guru (dosen), kepala sekolah, anak didik, dan orang-orang yang terkait di dalam proses pendidikan itu sendiri. 

Dari tiga kelompok faktor di atas, maka yang menjadi penentu suksesnya belajar dan berhasilnya suatu pendidikan sangat (dominan) ditentukan oleh faktor tenaga pendidik, dalam hal ini guru di sekolah dan para dosen di Perguruan Tinggi. Meskipun di suatu sekolah dan perguruan tinggi fasilitasnya memadai, bangunannya bertingkat; meskipun kurikulumnya lengkap, program pengajarannya hebat, manajemennya ketat, sistem pembelajarannya oke, tapi para tenaga pengajarnya (guru/dosen) sebagai aplikator di lapangan tidak memiliki kemampuan (kualitas) dalam penyampaian materi, cakap menggunakan alat-alat tekhnologi yang mendukung pembelajaran, maka tujuan pendidikan akan sulit dicapai sebagaimana semestinya. Mantan Mendikbud, Fuad Hassan, pernah mengingatkan, bahwa tanpa guru yang menguasai materinya mustahil suatu sistem pendidikan berikut kurikulum serta muatan kurikulernya dapat mencapai hasil sebagaimana yang diidealkan. 

Tingkat kenerja dan kualitas para tenaga pendidik (guru atau dosen) di Indonesia pernah menjadi sorotan. Seperti studi yang dilakukan Asia Week dalam Asia's Best Universities 2000. Studi tersebut membuktikan bahwa kualitas dosen di Indonesia masih sangat rendah dan belum memadai. Dari 77 perguruan tinggi terbaik di kawasan Asia dan Australia, ternyata kualitas dosen Universitas Indonesia (UI) Jakarta hanya menempati urutan ke-62. Selanjutnya Universitas Diponegoro (Undip) Semarang di peringkat ke-76, dan paling 'kincik' adalah UGM Yogyakarta dengan peringkat ke-77. Rendahnya mutu kualitas guru dan dosen kita, menurut Prof. Dr. Ki Supriyoko (Kompas, 2002) disebabkan oleh belum tumbuhnya kebiasaan membaca dikalangan guru dan dosen itu sendiri. 

Sikap guru 

Di samping faktor penyebab rendahnya kualitas tenaga pendidik di atas, apa yang disebut dengan "On going Formation" terhadap guru penerapannya juga dinilai salah kaprah selama ini. Menurut ahli pendidikan, J Drost (2002), on going formation bermakna "kegiatan membentuk atau mewujudkan". Maksudnya, membentuk atau mewujudkan mutu guru secara terus menerus sebagai guru. Kegiatan on going formation selama ini oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dilaksanakan lewat penataran. Namun apa yang diberikan dalam penataran itu biasanya bukan yang dibutuhkan guru. Di tambah lagi penatarnya yang tidak lebih bermutu pengetahuannya dan juga tidak lebih lama pengalamannya dari para petatar. Kesan yang timbul, penataran yang sering dilakukan buat guru hanya sekedar menutupi kekurangan karena studi yang tidak beres. 

Oleh sebab itu kata J Drost, on going formation yang amat berguna ialah pengalaman, bukan rutin mati di depan kelas; bukan sibuk dengan buku pegangan. Pengalaman adalah hasil sikap tanggap atas setiap kejadian yang terjadi disekitar lingkungannya selama 24 jam sehari, dan mengelolanya menjadi milik mental. Yaitu dengan cara mencari kesempatan untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Hal itu bisa ditempuh oleh seorang guru melalui surat-surat kabar, majalah-majalah, buku-buku, dan bahan bacaan lainnya, menghadiri seminar-seminar atau loka karya yang berguna baginya sebagai pengajar dan pendidik. 

Yang lucunya, banyak guru dan dosen yang menyuruh anak didiknya membaca dan rajin ke pustaka, tetapi guru dan dosennya sendiri jarang membaca ke pustaka. Seakan-akan pustaka hanya milik siswa dan mahasiswa. Ironisnya, kata Prof. Dr. Ki Supriyoko, ada dosen yang malu ke pustaka karena takut dikatakan bodoh oleh mahasiswanya. Bila diteliti, jarang ada bacaan yang bermutu di ruang kerja para guru dan dosen, di rumah terlebih lagi di sekolah. 

Ada satu pengalaman dari hasil pengamatan penulis ketika melaksananakan Praktek Pengajaran Lapangan (PPL) beberapa tahun yang lalu (2002) di Pekanbaru. Di mana, guru di sekolah lebih banyak membawa bekal makan siang ketimbang mengisi tas dengan buku bacaan atau majalah. Begitu juga di ruang kerja para dosen di kampus-kampus, yang sering ditemukan cuma televisi, onggokan skripsi, beberapa tropi, serta secangkir teh dan kopi. 

Sehingga untuk meningkatkan mutu pendidikan atau pengajaran di sekolah-sekolah atau di PT-PT saja, acapkali kita mendatangkan tenaga kependidikan dari luar negeri. Kasus Riau misalnya, pernah diberitakan bahwa daerah Bengkalis mengontrak para guru Malaysia untuk mengajar di bidang eksakta dan Bahasa Inggris. Padahal dahulunya, negara Malaysialah yang meminta para guru kita untuk mengajar di sekolah-sekolah mereka. Ironis! Inilah kenyataannya, bahwa kualitas tenaga pendidik kita, suka tak suka kita akui memang jauh tertinggal. 

Rendahnya kualitas atau ke-profesionalan tenaga pendidik dapat memberi dampak kepada sikap dan cara mereka selama proses pengajaran dan pendidikan berlangsung. Para guru demikian pula dosen sering ingin "menjadi dirinya sendiri". Maksud penulis, yaitu guru dan dosen yang tidak mau memahami realitas yang ada diluar dirinya. Guru dan dosen seperti ini sering menggunakan senjata "nilai" ketika menghadapi anak didik dan menunjukan sikap wibawa yang terlalu dipaksa. Guru dan dosen seperti ini tidak mampu memahami realitas secara objektif, dan acapkalai memaksakan kehendaknya. Sehingga antara mereka dan anak didik tidak terjalin suatu dealetika yang harmonis. Tanpa disadari semua itu telah menjauhkan diri mereka dari hati nurani para anak didik. 

Hal ini yang diistilahkan oleh Paulo Freire (1999) dengan pendidikan "gaya bank". Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme antara guru dan murid, yaitu: Guru mengajar, murid belajar; Guru tahu segalanya, murid tak tahu apa-apa; Guru berpikir, murid dipikirkan; Guru bicara, murid mendengarkan; Guru mengatur, murid diatur; Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya; dan sebagainya. Hal demikian sering terjadi di dunia pendidikan kita. Guru dan dosen menjelma menjadi manusia "asing" bukan lagi sebagai fartner murid-murid dalam proses belajar mengajar yang demokratis dan membebaskan. 

Belum lama ini beberapa kepala sekolah dan beberapa pihak anggota dinas pendidikan di salah satu Kabupaten di Riau mengadakan studi banding tentang KBS dan KBK di tiga negara yaitu Malaysia, Thailand, dan Singapura. Yang lucu ketika pulang dari tiga negara yang dikunjungi itu ternyata sebagian guru cuma membawa mainan kunci, salak pondo, dan mangga yang diawetkan ke sekolahnya. Kan mendingan sebuah buku atau cerita kiat sukses pendidikan di negara-negara itu sambil membuat laporannya dalam bentuk tulisan di media massa ketimbang membawa mainan kunci? 

Sederet kisah perilaku tenaga pendidik kita ternyata belum usai. Di perguruan tinggi terutama dalam proses pembuatan skripsi, ada sebagian dosen pembimbing yang acuh, bahkan ada yang berkata kepada mahasiswa bimbingannya: "Saya butuh kamu atau kamu butuh saya!". Sehingga dosen yang jarang tampak di kampus itu harus ditunggu dan dicari ke sana-sini. Bukankah seharusnya, sebagai dosen pembimbing sebaiknya mempermudah urusan skripsi yang dibuat sebagai rasa tanggung jawab terhadap amanah. 

Persoalan ini pernah disinggung (atau diakui) oleh Ali Khomsan (guru besar IPB) dalam tulisannya Strategi Percepatan Pendidikan Pascasarjana (Republika, 13 Februari 2002). Ali mengatakan, salah satu kelemahan dalam proses pembimbingan mahasiswa selama ini, adalah kurangnya monitoring dosen pembimbing terhadap mahasiswanya. Seolah-olah mahasiswa sendiri yang harus bertanggung jawab apakah ingin lulus tepat waktu atau mau berlama-lama di kampus. Kalau mahasiswa tidak datang kepadanya, dosen merasa tidak rugi karena justru waktunya bisa digunakan untuk kegiatan yang lain. Padahal, kemampuan meluluskan mahasiswa secara tepat waktu adalah komitmen yang harus dipegang oleh semua dosen pembimbing. 

Ali menceritakan pengalamannya ketika studi S3 di Amerika. Bahwa pembimbingnya rela mengendarai mobil sejauh 100 km untuk mengantarkannya ke suatu tempat untuk mencari data sekunder yang dibutuhkannya. Selanjutnya jadwal konsultasi selalu tepat waktu dan diberikan secara luas. Lalu bagaimana di Indonesia? Jangankan tepat waktu, jadwal untuk konsultasi saja terkadang tidak diberikan. Sehingga acapkali mahasiswa menunggu pembimbingnya berjam-jam di kampus. 

Meningkatkan kualitas guru atau dosen dan memperhatikan kesejahteraan hidup para "Umar Bakri", adalah kunci lain untuk mencapai dunia pendidikan yang bermutu. Tesis ini diyakini oleh banyak negara, seperti Australia. Ketika para menteri pendidikan negara-negara bagian Australia berkumpul di Adelaide, mereka sepakat untuk konteks milinium ke-3 akan membangun bangsa dengan cara peningkatan kualitas pendidikan yang dimulai dengan meningkatkan keprofesionalan guru. Oleh sebab itu di Australia guru sangat dihargai, dan gajinya sangat memadai. Sehingga banyak master dan doktor tidak malu-malu menjadi guru (bukan dosen) untuk mengajar di tingkat sekolah menengah atau sekolah dasar (SD) sekalipun. Begitu juga di Jepang, masyarakat dan pemerintahan Jepang sangat menghargai dan menghormati keberadaan guru di negaranya. 

Musuh kita 

Kebodohan, kemiskinan, pengangguran dan tindak kejahatan adalah musuh utama kita dan persoalan besar. Oleh sebab itu harus ditangani secara 'besar', transparan, profesional, serta tepat sasaran. Terutama pada sektor pendidikan. Bila tidak peningkatan kualitas manusia ini dan usaha mencapai ke arah itu akan tetap berjalan ditempat. Kemudian teknologi dan informasi, atau penyediaan infrastruktur seperti kelancaran jalan dan komunikasi, adalah persoalan besar pula. Sebab itu, aspek ini sesekali jangan pula diabaikan. Bila diabaikan kita akan kembali berada dalam sebuah "lingkaran setan" yang menyesatkan. Semoga tidak. 

Kekerasan, Buah Kegagalan Pendidikan?

Daniel Gobey (2004) mengatakan pada awal 1960-an, banyak orang yakini kebenaran gagasan Konrad Lorenz, seorang ethiolog (pakar "psikologi" binatang) asal Jerman, yang menyebutkan bahwa kekerasan, tak ubahnya rasa lapar, adalah naluri manusia sebagai bagian dari kodratnya yang jasmaniah. Di dasawarsa berikutnya, tahun 1970-an, orang lebih menaruh perhatian pada apa yang kemudian dinamai sebagi "lingkaran setan" kekerasan. 

Menurut mereka, kekerasan seolah telah mengental lebih dari sekedar naluri yang nature, dan menjadi culture, budaya kekerasan. Kalau pengamatan itu benar, artinya perlahan-lahan hubungan antar-manusia di abad ini tak hanya mengalami eskalasi kekerasan secara akumulatif, tapi juga sofistikasi, pencanggihan, kekerasan. Meminjam pengalaman pahit masyarakat miskin Amerika Selatan, Dom Helder Camara, memfatwakan betapa suatu kekerasan tak pernah berdiri 

sendiri. Ia lahir menyusul, dan menjadi rantai fantasi berikutnya dari kekerasan-kekerasan terdahulu yang telah berjalin-kelindan. Awalnya kekerasan lahir dibidani oleh egoisme para penguasa dan kelompok-kelompok yang rakus. 

Berikutnya kekerasan pun muncul sebagai jawaban dari para pejuang keadilan yang mengangkat senjata untuk menumbangkan para penguasa lalim itu. Kekerasan akan kembali muncul sebagai satu-satunya jalan berpikir yang ada dari para penguasa untuk menumpas bentuk kekerasan kedua. Begitulah seterusnya, hingga nyaris tak henti-hentinya darah mengalir untuk menyuburkan dendam yang tak kunjung menuntas. 

Dari mana lingkaran setan ini muncul? Bagaimana mungkin ia muncul? Mungkinkah pula ia berujung? Semua itu adalah pertanyaan-pertanyaan penting, yang justru kerap terlalu sulit dijawab. Tapi yang jelas, orang mulai mencatumkan derajat kekerasan yang berlaku dalam suatu masyarakat 

sebagai salah satu indikator evaluasi transformasi sosial-budaya yang tengah terjadi di dalamnya. Ia akan saling terkait dengan integrasi sosial, keadilan, hak-hak asasi manusia, kemajuan ekonomi, dan sebagainya ketika dimunculkan sebuah pertanyaan baru: sejauh mana transformasi 

Seperti dikatakan Magnis Suseno (2003) Dialog dapat kita mulai dari lingkungan anak-anak . Termasuk dilingkungan sekolah dasar.Hak kebebasan beragama dalam kaitan masalah pelajaran agama berarti, orangtualah yang berhak menentukan apakah, di manakah, dalam agama apakah anak mereka boleh diberi pelajaran agama. 

Namun, hak asasi orangtua itu juga memuat hak agar anak mereka tidak diberi pelajaran agama yang tidak dikehendaki. Bukan hanya di sekolah negeri, tetapi juga di sekolah swasta. Misalnya: sekolah Katolik (yang saya pakai sebagai contoh selanjutnya) berhak hanya menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Muhammadiyah berhak hanya menawarkan agama Islam. Tetapi yang pertama tidak berhak mewajibkan murid-muridnya yang bukan Katolik ikut pelajaran agama Katolik. Begitu pula yang kedua, tidak berhak mewajibkan murid bukan Islam ikut pelajaran Islam. 

Jadi, pluralisme tidak hanya berlaku di tingkat nasional. Bila sekolah swasta beraliran agama tertentu memutuskan untuk membuka pintu bagi anak dari pluralitas agama, pendirian orangtua mereka masing-masing wajib dihormati. Itulah yang namanya pluralisme. 

Sekolah yang berlandaskan agama pada dasarnya membatasi diri pada anak-anak seagama. Dengan demikian, masalah pelajaran agama hilang. Tetapi, pendidikan Katolik di negara ini, sebagaimana dipelopori almarhum Rama van Lith, juga di seluruh dunia, tidak pernah sesempit itu. Sekolah-sekolah Katolik selalu terbuka bagi anak dari semua agama, bukan untuk membuat mereka Katolik, tetapi karena keyakinan umat Katolik menyelenggarakan pendidikan bermutu yang oleh orangtua maupun kemudian oleh mereka yang melalui sekolah-sekolah itu diingat dengan bangga. 

Selalu diusahakan, selain pelajaran prima dalam masing-masing mata pelajaran, pendidikan agar anak menjadi manusia bermutu, cerdas, terbuka, berkarakter, mampu bertanggung jawab, berwawasan keadilan, berwawasan kebudayaan luas. Kualitas sebagai manusia utuh itu justru akan berkembang bila orientasi keagamaan anak, dan orangtuanya (hubungan kepercayaan antara sekolah dan orangtua selalu dipentingkan) dihormati. 

Kepada anak-anak yang oleh orangtua mereka tidak dikehendaki mengikuti pelajaran agama Katolik, ada dua kemungkinan. Mereka ditawari pelajaran etika atau budi pekerti. Tetapi, sebenarnya lebih baik lagi bila diberi pelajaran dalam agama mereka sendiri. Argumen "masak sekolah Katolik memberi pelajaran agama Islam (misalnya)!" saya anggap sah, tetapi picik. Kalau sekolah mau memberi pendidikan utuh dan untuk itu menganggap pelajaran agama penting, apa tidak lebih sesuai bila anak-anak beragama lain-asal jumlah cukup agar sekolah tidak dibebani biaya tinggi-ditawari pelajaran dalam agama-agama masing-masing? 

Di sini selalu diajukan keberatan: Apakah pelajaran agama lain tidak akan menjadi "kuda Troya"? Sesudah pelajaran agama lain, rumah ibadah harus disediakan, guru agama mungkin picik lalu malah merusak suasana rukun di antara murid berbeda agama? Adalah kekhawatiran "kuda Troya" itulah yang ada di belakang keberatan sekolah swasta untuk menyediakan pelajaran agama lain. 

Kekhawatiran itu, sayang, tidak tanpa alasan. Maka bila diharapkan pelajaran agama lain diberikan, misalnya di sekolah Katolik, harus jelas, kekhasan sekolah itu sebagai sekolah Katolik tidak diganggu. Paling penting: Hak sekolah untuk memilih sendiri guru-gurunya, termasuk semua guru agama harus dijamin. Memang tak dapat ditolerir sama sekali bahwa instansi luar bisa memasukkan guru agama melawan kehendak sekolah itu. Sekolah jelas berhak memastikan bahwa guru yang mengajar agama berwawasan inklusif, humanis, dan memenuhi syarat kecerdasan intelektual yang memadai 

Setidaknya ada tiga faham yang tidak mudah untuk dipertemukan hakekatnya 

yaitu yang bersifat: (1) Theisme (Tuhan yang berpribadi yang transenden dan memberi wahyu seperti dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam), (2) Monisme (yang tidak menerima Tuhan yang transenden melainkan dasar keberadaan yang imanen seperti dalam agama-agama Hindu dan Tao); dan (3) non-Theisme (tidak mempercayai tuhan yang 'ada' dan transenden seperti dalam Buddhisme ). 
Dialog agama umumnya mengabaikan perbedaan ini demi tujuan kerukunan. 

Menyoal Carut Marut Pendidikan

Setiap pergantian tahun ajaran baru, para orang tua disibukkan dengan kegiatan mencari sekolah bagi anak-anaknya. Tidak perduli walaupun mahal. Bahkan jika perlu main suap. Asalkan sang anak dapat masuk di lembaga pendidikan yang dianggap bergengsi atau prestisius. Kendatipun demikian, benarkah lembaga pendidikan yang bergengsi tersebut pasti bermutu? Nampaknya tidak demikian. Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat mengoreksi sistem pendidikan. Agar tidak terjebak pada komersialisasi saja. Sedangkan mutunya banyak diabaikan. Terlepas dari kekurangan itu, membanding sistem pendidikan dasar, lanjutan dan menengah umum kita nampaknya jauh lebih baik daripada sistem lembaga pendidikan tinggi (LPT) yang mencetak sarjana. 

Menjadi seorang sarjana adalah dilema besar. Jika mereka tak mampu berbuat apa-apa, maka bukan hanya masyarakat yang mencela. LPT tempat mereka berproses, sebagai sarjanapun juga ikut menyalahkan. Benarkah, banyaknya sarjana kita sebagai penganggur adalah kesalahannya sendiri? Hal inilah yang jarang dipertanyakan. Sebab kampus sudah menjadi "tempat suci" yang disakralkan. Celakanya diperparah juga oleh media yang jarang menyoal pertanggungjawaban LPT. Ini bisa dimengerti. Karena mereka turut berkepentingan dengan suburnya bisnis LPT. Diduga, guyuran pemasangan iklan, di media, saat musim penerimaan mahasiswa baru, bisa bernilai ratusan juta hingga milliaran rupiah. 

Kondisi tersebut tidak adil. Hal ini sungguh bertolakbelakang dengan rayuan dan janji-janji saat promosi untuk menarik calon peserta didik baru di LPT. Kalau mau jujur. Tanpa banyak disadari, sebetulnya lembaga pendidikan tinggi mencetak sampah masyarakat. Seorang bergelar sarjana menjadi tidak berguna, ketika kebingungan menentukan perannya ditengah-tengah masyarakat. LPT terkesan tidak mau tahu dengan lulusannya. Yang banyak dilakukan, hanya mencatat alumninya yang sukses bekerja. Padahal seharusnya mereka berani bertanggungjawab dengan ketidakberhasilannya membuat para sarjana eksis ditengah masyarakat. 

Ketidakmampuan seorang lulusan LPT yang kini jumlahnya makin membengkak, sesungguhnya lebih dipengaruhi oleh buruknya proses belajar, yang digunakan selama ini. Cukup susah untuk mendefinisikan apa saja yang menjadi penyebab utamanya. LPT, dengan segala cara, akan mempertahankan citranya tetap baik ditengah masyarakat. Semakin keras dipertanyakan kualitasnya, maka semakin hebat mereka mengelak. Tetapi ada satu jurus yang sulit untuk didebat dengan dalih apapun. Termasuk dalih tidak ilmiah, dan tidak akademis. Sebagaimana sering dijadikan penangkal, dari serangan kritik. Jika memang benar, LPT telah mendidik seseorang dengan berkualitas, beranikah mereka membuat perjanjian yang berkekuatan hukum? Alih-alih apabila ternyata lulusannya tidak sesuai, dengan janjinya saat promosi, akan sukarela digugat dipengadilan sekalipun. 

Pentingnya membuat perjanjian dengan calon siswa sebelum masuk ke LPT, akan benar-benar menjadi seleksi mana LPT yang sesungguhnya lebih berkualitas dalam mencetak sarjana. Sebab, LPT yang tidak bermutu proses belajar-mengajarnya, segera akan tersisih. Sistem penentuan kualitas LPT ala Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang selama ini diterapkan perlu dikoreksi kembali. Untuk menentukan kualitas LPT tidak cukup dilihat, dari berapa jumlah pengajar beritel S2 maupun S3 yang dimiliki. Kemudian perangkat fasilitas dan bangunan yang megah. Penelitian-penelitian yang meragukan akurasinya. Tentunya, akreditasi berdasarkan hal tersebut berpotensi menyesatkan. Semakin menjauhkan cita-cita LPT itu sendiri dari tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Di saat berlangsungnya test seleksi penerimaan mahasiswa baru(SPMB) tanggal 14 hingga 16 Juli 2004 kemarin, sebuah lembaga pendidikan luar sekolah (PLS) di kota Malang, Jawa Timur, memasang iklan dalam sebuah acara expo pendidikan, yang menarik untuk dikaji. 

Iklan tersebut, menunjukkan contoh surat Perjanjian yang telah dibuat antara pemilik PLS, dengan calon siswa diatas kertas bermaterai. Disebutkan didalamnya. Selain semua hal-hal yang sifatnya normatif untuk disampaikan. Pasal-pasal perjanjian mencantumkan perihal jaminan pasca pendidikan. Termasuk konsekuensi bagi penyelenggara, untuk sukarela dituntut apabila tidak sesuai dengan promosi yang pernah dilakukan. Diantaranya, bersedia mengembalikan biaya pendidikan seratus persen selama proses pendidikan. Termasuk bila perlu dituntut dimuka pengadilan. 

Substansi apa yang dilakukan oleh PLS tersebut bisa menjadi bahan perenungan bersama. Kiranya, apabila tujuhpuluh persen saja para penyelenggara pendidikan dinegeri ini, termasuk LPT mampu membuat perjanjian yang berkonsekuensi hukum seperti itu, maka secara drastis pula kita akan melihat sarjana yang tidak berdaya menurun jumlahnya. Missi dan vissi pendidikan LPT, seyogyanya, bukan hanya pemanis identitas saja. Tetapi perlu dituangkan secara riil mulai bentuk perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan program pendidikan yang jelas, terarah dan bertanggungjawab. 

Agar LPT berani bertanggungjawab dengan para sarjananya, maka setidak-tidaknya mereka harus memenuhi beberapa hal berikut ini. Pertama, memiliki suatu gambaran yang matang, mengenai siapa dan bagaimana, calon mahasiswa (input)yang akan disaring, sebagai peserta didik nantinya. Kalau perlu sistem pemilihan jurusan dalam SPMB yang memungkinkan peserta memilih lebih dari satu LPT negeri, diganti menjadi test lokal seperti yang dilakukan LPT swasta. Mengapa? Hal ini bertujuan untuk memberi keleluasaan pada LPT sendiri dalam menentukan kriteria calon peserta didik yang akan mereka bentuk. Sekaligus, sebagai sikap kritis terhadap mainstream pendidikan yang sering mengacu pada pepatah lama Tut Wury Handayani. Membiarkan dan mengawasi. Seharusnya mainstream pendidikan sekarang adalah menciptakan dan mengembangkan. 

Kedua, mengacu pada hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi, maka perlu membatasi jumlah calon peserta didik LPT sesuai dengan daya serap yang dibutuhkan.Artinya LPT ikut bertanggungjawab menciptakan peluang dan kesempatan sebagai tempat eksis para sarjana. Bukannya memproduksi saja. Tetapi, juga menciptakan pasar sesuai dengan arah bidang studinya masing-masing. Hal ini merupakan langkah penting untuk mencegah terjadinya komodifikasi pendidikan. 

Ketiga, memperbarui pola belajar mengajar di LPT sesuai dengan perkembangan kondisi sekarang dan dimasa yang akan datang. Mengutip fakta hasil penelitian Thompson (1951:26),(1951:19-20,70) didalam Francis Wahono (2001:14) terungkap bahwa sistem ekonomi menjadi penentu pendidikan itu sudah berlangsung sejak jaman Sparta (900SM) dan Athena (500 SM). Kemudian Jaman Reaissance (1400-1600). Kondisi sekarang adalah globalisasi dimana negara tidak lagi dibatasi oleh dinding tertutup yang memungkinkan terjadinya persaingan bebas. Sehingga mengabaikan fakta, LPT kita bisa menjadi pengemis dinegeri sendiri dihadapan sarjana barat

Pendidikan Luar Sekolah


Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).

Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi

Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.

Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :
  1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
  2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;
  3. Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;
  4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);
  5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan
  6. Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Riau.
Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :
  1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
  2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;
  3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
  4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta
  5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.
Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :
  1. Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
  2. Pembinaan kelembagaan PLS;
  3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
  4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
  5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS
Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.

Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri..

Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. .

Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan.

Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.

PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah.

Pendidikan Jarak Jauh

Pendidikan Jarak Jauh secara tersurat sudah termaktub di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang "Sistem Pendidikan Nasional". Rumusan tentang Pendidikan Jarak Jauh terlihat pada BAB VI Jalur, jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian Kesepuluh Pendidikan Jarak Jauh pada Pasal 31 berbunyi : (1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tata muka atau regular; (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta system penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standard nasional pendidikan; (4) Ketentuan mengenai penyelenggarakan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 

Ini menunjukan kepada kita bahwa pendidikan jarak jauh merupakan program pemerintah yang perlu terus didukung. Pemerintah merasakan bahwa kondisi pendidikan negeri kita perlu terus dibenahi, dan tentunya diperlukan strategi yang tepat, terencana dan simultan. Selama ini belum tersentuh secara optimal, karena banyak hal yang juga perlu dipertimbangkan dan dilakukan pemerintah didalam kerangka peningkatan kualitas sector pendidikan. 

Pendidikan jarak jauh pada kondisi awal sudah dijalankan pemerintah melalui berbagai upaya, baik melalui Belajar Jarak Jauh yang dikembangkan oleh Universitas Terbuka, mapun Pendidikan Jarak Jauh yang dikembangkan oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Departemen Pendidikan Nasional, melalui program pembelajaran multimedia, dengan program SLTP dan SMU Terbuka, Pendidikan dan Latihan Siaran Radio Pendidikan. 

Berkenaan dengan itu, yang pasti sasaran dari program pendidikan jarak jauh tidak lain adalah memberikan kesempatan kepada anak-anak bangsa yang belum tersentuh mengecap pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan tidak terkecuali anak didik yang sempat putus sekolah, baik untuk pendidikan dasar, menengah. Demikian pula bagi para guru yang memiliki sertifikasi lulusan SPG/SGO/KPG yang karena kondisi tempat bertugas di daerah terpencil, pedalaman, di pergunungan, dan banyak pula yang dipisahkan antar pulau, maka peluang untuk mendapatkan pendidikan melalui program pendidikan jarak jauh mutlak terbuka lebar. Perlu dicatat bahwa pemerintah telah melakukan dengan berbagai terobosan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia. Upaya keras yang dilakukan adalah berkaiatan dengan lokalisasi daerah terpencil, pedalaman yang sangat terbatas oleh berbagai hal, seperti transportasi, komunikasi, maupun informasi. Hal ini sesegera mungkin untuk diantisipasi, sehingga jurang ketertinggalan dengan masyarakat perkotaan tidak terlalu dalam, dan segera untuk diantisipasi. 

Semangat otonomi daerah memberikan angin segar terhadap pelaksanaan program pendidikan jarak jauh. Apalagi bila kita telusuri, masih banyak para guru yang mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, akan tetapi karena keterbatasan dana, ditambah lagi ketidakmungkinannya untuk meninggalkan sekolah, maka cita-cita untuk melanjutkan belum tercapai. 

Akan tetapi dengan melalui program pendidikan jarak jauh melalui pola pembelajaran multi media yang digalakan oleh Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi (Pustekkom) Pendidikan Nasional, merupakan angin segar bagi para guru-guru yang berpendidikan SPG/SGO untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Diploma Dua melalui Program PGSD. Demikian pula bagi para guru-guru yang baru direkrut melalui program guru bantu yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat maupun guru kontrak yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, pada umumnya banyak lulusan SMU/SMK/MA tentunya dari segi kualitas perlu terus ditingkatkan, apalagi yang menyangkut kemampuan didaktik, metodik dan paedogogik masih perlu banyak belajar, karena selama menjalani pendidikan di sekolah menengah tidak pernah mendapatkan materi tersebut. Mereka-mereka ini perlu diberi kesempatan untuk mengikuti program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) selama dua tahun. 

Katanya Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi (Pustekkom) Dinas Pendidikan Nasional bekerjasama dengan LPTK, dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota tahun depan akan melaksanakan program pendidikan jarak jauh, yang akan diujicoba untuk lima propinsi se Indonesia, Yakni Propinsi Riau, Sumatera Barat, Papua, Gorontalo, dan Ujung Pandang. 

Pola yang diterapkan melalui program pembelajaran multimedia, dengan melibatkan LPTK yang ada, Dinas Kabupaten/Kota serta Pustekkom Propinsi. Para guru tidak perlu lagi meninggalkan tugas mengajar, dan tentunya proses pembelajaran dapat dilaksanakan secara efektif seperti biasa. Para tutorial dan teknisi dari LPTK yang akan datang ke daerah untuk melakukan proses pembelajaran. 

Telah terjadi distribusi hak dan wewenang antara, LPTK, Pustekkom, Dinas Pendidikan, dalam proses pelaksanaan, dan masing-masing tetap menyatukait, dan ada beberapa program yang dilaksanakan secara bersama-sama. Hal ini telah diatur sesuai dengan kesepakatan antara LPTK, Dinas Pendidikan, Pustekkom beberapa waktu yang lalu. 

Untuk itu Dinas Pendidikan Propinsi Riau bersama dengan LPTK (FKIP UNRI) akan melaksanakan sosialisasi tentang program ini, telah melakukan rapat koodinasi tanggal 15 November 2003 bersama seluruh kepala Dinas Pendidikan Propinsi Riau. Pada kesempatan itu Pemerintah Pusat melalui Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi memberikan beberapa informasi pada pertemuan itu. Sehingga kesepakatan untuk melaksanakan program peningkatan Sumber Daya Manusia dalam hal ini "Guru" dapat terwujud sesuai dengan apa yang direncanakan. Semoga.