Minggu, 04 Desember 2011

Memerdekakan Politik Pendidikan

Dalam usia 63 tahun kemerdekaan Indonesia, dunia pendidikan kita tampaknya masih terpasung kepentingan politik praktis dan ambiguitas kekuasaan. Padahal, politik dan kekuasaan suatu negara memegang kunci keberhasilan pendidikan.

Dalam konteks pembangunan demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia, peran politik eksekutif dan legislatif untuk memajukan pendidikan begitu besar. Ranah politik dan kekuasaan harus mampu mewujudkan sistem pendidikan yang mencerdaskan dan mencerahkan peradaban bangsa ini.

Tokoh liberalisme pendidikan asal Amerika Latin Paulo Freire pernah menegaskan bahwa bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pembangunan pendidikan. Freire memandang politik pendidikan memiliki nilai penting untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara.

Bangsa yang politik pendidikannya buruk, maka kinerja pendidikannya pun pasti buruk. Sebaliknya, negara yang politik pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun juga akan bagus. Pertanyaannya kini, bagaimanakah realitas politik pendidikan kita saat ini? 

Media Multimedia Memudahkan Siswa

Semarang, Kompas - Penerapan media pembelajaran multimedia di sekolah akan memudahkan guru untuk menerangkan materi pelajaran. Berbagai obyek dapat divisualisasikan sehingga siswa mudah memahami materi pelajaran.

Hal itu terungkap dalam seminar nasional Meraih Sukses Pembelajaran dengan Optimalisasi Multimedia Interaktif, Sabtu (1/3) di Universitas Dian Nuswantoro Semarang.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Romi Satrio Wahono mengatakan, penyampaian materi dengan media pembelajaran multimedia memiliki sejumlah keunggulan.

Penyampaian materi dalam bentuk visual dan suara membuat pelajaran lebih menarik. Siswa cepat paham sehingga pelajaran akan berlangsung lebih efektif dan efisien, kata salah satu pembicara di seminar tersebut.

Roni mencontohkan, dengan bantuan perangkat multimedia, siswa dapat diajak untuk membayangkan lapisan matahari sekaligus lapisan- lapisan itu dalam visualisasi di layar komputer.

Meskipun demikian, penerapan media pembelajaran multimedia di Indonesia belum populer. Menurut Roni, ada sejumlah kendala dalam penerapan media pembelajaran multimedia di sekolah.

Kendala utama terletak pada kurangnya infrastruktur. Masih banyak sekolah di Indonesia yang belum dilengkapi dengan perangkat komputer.

Kendala lain, kesiapan guru untuk beralih ke multimedia. Tidak semua guru mampu memindahkan materi pelajaran ke dalam program komputer. Romi mengusulkan agar pengelola sekolah membentuk semacam unit multimedia yang bertugas membuat program bagi para guru.

Pekerjaan guru tidak sedikit. Sangat dipahami kalau dia tidak punya waktu untuk belajar membuat program, katanya.

Menurut Joko Triyono, guru seni budaya dari SMAN I Prembun, Kebumen, para siswa lebih berminat untuk belajar gamelan setelah ia memakai perangkat multimedia di kelasnya. Ia membuat program Apresiasi Gamelan yang berisi materi pelajaran gamelan mulai dari teori hingga praktik.

Siswa sanggup memainkan berbagai alat musik yang ada di layar komputer, ujar Joko. Dia adalah peraih medali perak dalam lomba pembuatan media pembelajaran tahun 2006, dari Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk program pelajaran bermain gamelan yang dibuatnya itu.

Satu Komputer Untuk 2.000 Siswa

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada tahun 2015 menargetkan satu komputer untuk 20 siswa di tiap-tiap sekolah di seluruh Indonesia.

Hal ini diakui Setditjen PMTK Depdiknas, Giri Suryatmana, sebagai salah satu usaha Diknas untuk meningkatkan mutu pengajaran di tiap-tiap sekolah lewat internet.

Sekarang kan satu komputer untuk 2.000 siswa, nah ke depan kita mau kejar 1 komputer 20 siswa. Targetnya pada tahun 2015 dan biayanya dari APBN, katanya seusai jumpa pers pemberian penghargaan Intel Education Award 2009 terhadap 6 orang guru di Restoran Pulau Dua, Jakarta, Minggu (16/8).

Menurutnya, metode belajar lewat jaringan internet saat ini amatlah penting karena akses informasi yang sedemikian cepatnya dapat diperoleh saat ini dapat diperoleh dari internet.

Misal di Maluku Selatan, kalau kita bangun bangunan sekolah itu akan percuma, karena enam sampai tujuh bulan ke depan sekolah itu akan kosong karena para murid akan ikut orangtuanya berlayar. Karenanya, Bupati sana mencanangkan program guru dengan laptop untuk melakukan proses belajar mengajar, katanya.

Untuk lebih memudahkan para guru dan siswa, pihak Diknas, menurutnya, telah memasang jaringan pendidikan nasional (Jardiknas) yang berfungsi untuk mendukung jaringan internet di seluruh sekolah di Indonesia.

Dari Jardiknas tersebut para guru dan siswa dapat mengunduh berbagai macam buku dan informasi belajar mengajar. Tapi memang sampai sekarang masih ada kendala di operasinya. Tapi itu sudah bisa diakses di seluruh Indonesia, dan semua bisa diunduh dari sana, misal buku teks, pelatihan-pelatihan guru, apa saja bisa diunduh di sana, ujarnya.' 

179 Sekolah Di-Jakarta Tak Layak Pakai!!

Sebanyak 179 gedung sekolah di DKI Jakarta kondisinya tidak layak pakai. Pemprov DKI Jakarta cuma mampu memperbaiki 48 gedung pada 2010 mendatang.

Dengan demikian, masih terdapat 131 sekolah yang belum diperbaiki. Sebanyak 48 gedung sekolah yang akan direhabilitasi pada 2010 tersebut terdiri dari 25 gedung sekolah dasar (SD), 21 gedung sekolah menengah pertama (SMP), serta dua gedung sekolah menengah atas (SMA). Kepala Bidang Sarana Prasarana Dinas Pendidikan DKI Jakarta Didi Sugandi, di SMKN 27 Jakarta Pusat, Rabu (2/12), mengatakan, anggaran yang diusulkan pada APBD 2010 sekitar Rp 400 miliar untuk perbaikan 48 gedung sekolah tersebut.

Saat ini masih ada 179 gedung yang tidak layak pakai. Secara bertahap akan diperbaiki, sehingga tahun 2013 kita tidak bicara lagi soal sekolah rusak, ujarnya.

Dikatakannya, gedung-gedung sekolah yang rusak tersebut adalah gedung yang dibangun pada 1975 hingga 1978 atau bahkan lebih tua. Sehingga sudah waktunya direhabilitasi. Untuk perbaikan tahun 2009, lanjutnya, proses rehabilitasi gedung sekolah sudah mencapai 90 persen.

Tahun ini, terdapat 46 lokasi perbaikan dengan total anggaran Rp 249 miliar. Rinciannya adalah rehabilitasi total pada delapan gedung SD, lima gedung SMP, dan empat SMA/SMK, serta ditambah perbaikan ruang kelas baru di sembilan lokasi dan penyelesaian rehabilitasi total pada enam SD dan tujuh SMP. Gedung yang akan diperbaiki tahun ini, antara lain SMPN 193, SMAN 91, SMPN 82, SMPN 47, SDN Sumurbatu 12, dan SDN Tegalalur 01/02.

Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto mengatakan, untuk rehabilitasi total adalah tanggung jawab Dinas Pendidikan, sedangkan rehabilitasi berat dan sedang berada di tingkat kotamadya.

Rehabilitasi ringan merupakan tugas sekolah. Ia mengakui, untuk rehabilitasi berat, pihaknya cukup dilematis. Sebab, sering kali kebutuhan perbaikan tidak sesuai dengan dana yang tersedia sehingga material bekas juga dimungkinkan dipakai.

Yang cukup sulit adalah membedakan barang bekas yang layak pakai atau tidak layak, jelasnya.

Dikatakannya, meski menggunakan material bekas, setiap proses rehabilitasi gedung sekolah akan dilakukan pengawasan oleh konsultan dari Dinas Perumahan DKI Jakarta yang berhak menentukan apakah proyek harus dihentikan atau diteruskan. Jika ada kontraktor yang melakukan pekerjaan tidak sesuai dengan ketentuan, pihaknya akan menjatuhkan sanksi sesuai kontrak kerja, mulai dari pemutusan kontrak, hingga menjadikan perusahaan itu dalam daftar hitam yang tidak akan dipakai lagi untuk kerja sama.

Menurut Taufik, pada proyek rehabilitasi gedung sekolah mendatang, kepala sekolah akan diberikan salinan kontrak kerja agar mengetahui perbaikan apa saja yang dikerjakan termasuk bestek (besaran teknis)-nya. Seperti diberitakan sebelumnya, rehabilitasi berat gedung SDN Lubangbuaya 01 Pagi dan 02 Petang, Jakarta Timur, dengan anggaran Rp 1,1 miliar menggunakan material bekas.

Kasta Baru Pendidikan

ADA kecenderungan warga kelas menengah ke atas kian tergila-gila untuk menyekolahkan anaknya di sekolah bertaraf internasional. Akibat tingginya permintaan itu, sekolah-sekolah pun sibuk mendirikan kelas-kelas internasional.

Berbagai fasilitas pun disulap. Ada pendingin ruangan, komputer, serta laboratorium yang lengkap. Tak ketinggalan, pelajaran pun dikemas dan disampaikan dalam bahasa Inggris.

Awalnya pihak swasta yang memprakarsai kelas dan sekolah internasional. Label 'internasional' itu sepenuhnya dibiayai orang tua murid. Di sini tak ada lagi pendidikan sebagai fungsi sosial, atau merupakan amanah Preambul Konstitusi, tetapi semata urusan dagang. Ada mutu, ada harga.

Sekolah-sekolah negeri pun kemudian tertarik mengikuti rekannya yang swasta itu. Label 'internasional' pun ditambahkan pada sejumlah sekolah negeri.

Celakanya, persis seperti sekolah swasta, label 'internasional' sekolah negeri itu pun harus pula dibiayai sendiri oleh orang tua. Di titik ini, tak ada lagi perbedaan sekolah swasta dan sekolah negeri. Padahal, apa pun predikat dan label yang disandang sekolah negeri, ia mestinya sepenuhnya dibiayai negara.

Yang terjadi ialah banyak sekolah negeri yang memaksakan diri. Sekolah negeri hanya menyiapkan ruang kosong, sedangkan tersedianya fasilitas untuk mendapat label internasional menjadi kewajiban orang tua murid.

Akibatnya, sekolah negeri bertaraf internasional memungut biaya hingga Rp28,5 juta per murid. Padahal, Kementerian Pendidikan Nasional telah mengalokasikan untuk setiap sekolah negeri berlabel internasional dana sebesar Rp300 juta-Rp500 juta/tahun.

Kita khawatir sekolah negeri bertaraf internasional hanya menambah lebar dan dalamnya kesenjangan sosial di tengah masyarakat. Mahalnya biaya mengakibatkan hanya anak-anak kalangan tertentu yang dapat menikmatinya. Anak-anak kelompok masyarakat miskin, tetapi cerdas, hanya menjadi penonton.

Sesungguhnya adalah kewajiban negara untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional terutama melalui sekolah negeri. Menghasilkan anak bangsa dengan kecerdasan yang bersaing di tingkat dunia jelas urusan dan tanggung jawab negara. Negaralah yang seharusnya dengan sadar menciptakan lebih banyak lagi sekolah negeri bertaraf internasional. Melemparkan kewajiban pembiayaannya kepada warga, jelas bukan contoh negara yang bertanggung jawab.

Konstitusi telah mematok anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Untuk tahun anggaran 2010 besarnya sekitar Rp209 triliun. Dari anggaran itulah seharusnya dialokasikan untuk membangun sekolah negeri bertaraf internasional secara bertahap.

Terus terang negara ini pada kenyataannya tidak memiliki politik pendidikan. Salah satu buktinya ialah terus dipertahankannya ujian nasional, tanpa memperbaiki sisi proses belajar dan mengajar. Daripada uang negara disia-siakan untuk membiayai ujian nasional, jauh lebih baik bila uang itu dipakai untuk memperbaiki proses pendidikan yang mengubah input menjadi output. Adalah kebodohan, berharap terjadi peningkatan mutu output tanpa memperbaiki proses konversi dari input menjadi output.

Membiarkan sekolah negeri sesukanya membuat sekolah internasional, dan serentak dengan itu menciptakan kasta dalam dunia pendidikan, juga bukti tersendiri bahwa negara tidak memiliki politik pendidikan yang adil.

Sangat memprihatinkan jika anak-anak dari keluarga miskin, tetapi cerdas akhirnya tergilas karena kemiskinannya. 

Pembelajaran Kontekstual (CTL)


pembelajaran kontekstualAda kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang
Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa.

Arti Penting Psikologi Pendidikan Bagi Guru


psikologi Pendidikan dan GuruSecara etimologis, psikologi berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa atau nafas hidup, dan “logos” atau ilmu. Dilihat dari arti kata tersebut seolah-olah psikologi merupakan ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Jika kita mengacu pada salah satu syarat ilmu yakni adanya obyek yang dipelajari, maka tidaklah tepat jika kita mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa, karena jiwa merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak bisa diamati secara langsung.
Berkenaan dengan obyek psikologi ini, maka yang paling mungkin untuk diamati dan dikaji adalah manifestasi dari jiwa itu sendiri yakni dalam bentuk perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, psikologi kiranya dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Psikologi terbagi ke dalam dua bagian yaitu psikologi umum (general phsychology) yang mengkaji perilaku pada umumnya dan psikologi khusus yang mengkaji perilaku individu dalam situasi khusus, diantaranya :
  • Psikologi Perkembangan; mengkaji perilaku individu yang berada dalam proses perkembangan mulai dari masa konsepsi sampai dengan akhir hayat.
  • Psikologi Kepribadian; mengkaji perilaku individu khusus dilihat dari aspek – aspek kepribadiannya.
  • Psikologi Klinis; mengkaji perilaku individu untuk keperluan penyembuhan (klinis)
  • Psikologi Abnormal; mengkaji perilaku individu yang tergolong abnormal.
  • Psikologi Industri; mengkaji perilaku individu dalam kaitannya dengan dunia industri.
  • Psikologi Pendidikan; mengkaji perilaku individu dalam situasi pendidikan
Disamping jenis – jenis psikologi yang disebutkan di atas, masih terdapat berbagai jenis psikologi lainnya, bahkan sangat mungkin ke depannya akan semakin terus berkembang, sejalan dengan perkembangan kehidupan yang semakin dinamis dan kompleks.
Psikologi pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu ilmu karena didalamnya telah memiliki kriteria persyaratan suatu ilmu, yakni :
  • Ontologis; obyek dari psikologi pendidikan adalah perilaku-perilaku individu yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan pendidikan, seperti peserta didik, pendidik, administrator, orang tua peserta didik dan masyarakat pendidikan.
  • Epistemologis; teori-teori, konsep-konsep, prinsip-prinsip dan dalil – dalil psikologi pendidikan dihasilkan berdasarkan upaya sistematis melalui berbagai studi longitudinalmaupun studi cross sectional, baik secara pendekatan kualitatif maupun pendekatan kuantitatif.
  • Aksiologis; manfaat dari psikologi pendidikan terutama sekali berkenaan dengan pencapaian efisiensi dan efektivitas proses pendidikan.
Dengan demikian, psikologi pendidikan dapat diartikan sebagai salah satu cabang psikologi yang secara khusus mengkaji perilaku individu dalam konteks situasi pendidikan dengan tujuan untuk menemukan berbagai fakta, generalisasi dan teori-teori psikologi berkaitan dengan pendidikan, yang diperoleh melalui metode ilmiah tertentu, dalam rangka pencapaian efektivitas proses pendidikan.
Pendidikan memang tidak bisa dilepaskan dari psikologi. Sumbangsih psikologi terhadap pendidikan sangatlah besar. Kegiatan pendidikan, khususnya pada pendidikan formal, seperti pengembangan kurikulum, Proses Belajar Mengajar, sistem evaluasi, dan layanan Bimbingan dan Konseling merupakan beberapa kegiatan utama dalam pendidikan yang di dalamnya tidak bisa dilepaskan dari psikologi.
Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang di dalamnya melibatkan banyak orang, diantaranya peserta didik, pendidik, adminsitrator, masyarakat dan orang tua peserta didik. Oleh karena itu, agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka setiap orang yang terlibat dalam pendidikan tersebut seyogyanya dapat memahami tentang perilaku individu sekaligus dapat menunjukkan perilakunya secara efektif.
Guru dalam menjalankan perannya sebagai pembimbing, pendidik dan pelatih bagi para peserta didiknya, tentunya dituntut memahami tentang berbagai aspek perilaku dirinya maupun perilaku orang-orang yang terkait dengan tugasnya,–terutama perilaku peserta didik dengan segala aspeknya–, sehingga dapat menjalankan tugas dan perannya secara efektif, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.
Di sinilah arti penting Psikologi Pendidikan bagi guru. Penguasaan guru tentang psikologi pendidikan merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai guru, yakni kompetensi pedagogik. Muhibbin Syah (2003) mengatakan bahwa “diantara pengetahuan-pengetahuan yang perlu dikuasai guru dan calon guru adalah pengetahuan psikologi terapan yang erat kaitannya dengan proses belajar mengajar peserta didik”
Dengan memahami psikologi pendidikan, seorang guru melalui pertimbangan – pertimbangan psikologisnya diharapkan dapat :
1. Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat.
Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru akan dapat lebih tepat dalam menentukan bentuk perubahan perilaku yang dikehendaki sebagai tujuan pembelajaran. Misalnya, dengan berusaha mengaplikasikan pemikiran Bloom tentang taksonomi perilaku individu dan mengaitkannya dengan teori-teori perkembangan individu.
2. Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai.
Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru dapat menentukan strategi atau metode pembelajaran yang tepat dan sesuai, dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik dan keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan tingkat perkembangan yang sedang dialami siswanya.
3. Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling.
Tugas dan peran guru, di samping melaksanakan pembelajaran, juga diharapkan dapat membimbing para siswanya. Dengan memahami psikologi pendidikan, tentunya diharapkan guru dapat memberikan bantuan psikologis secara tepat dan benar, melalui proses hubungan interpersonal yang penuh kehangatan dan keakraban.
4. Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik.
Memfasilitasi artinya berusaha untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki siswa, seperti bakat, kecerdasan dan minat. Sedangkan memotivasi dapat diartikan berupaya memberikan dorongan kepada siswa untuk melakukan perbuatan tertentu, khususnya perbuatan belajar. Tanpa pemahaman psikologi pendidikan yang memadai, tampaknya guru akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator maupun motivator belajar siswanya.
5. Menciptakan iklim belajar yang kondusif.
Efektivitas pembelajaran membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif. Guru dengan pemahaman psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan untuk dapat menciptakan iklim sosio-emosional yang kondusif di dalam kelas, sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.
6, Berinteraksi secara tepat dengan siswanya.
Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan memungkinkan untuk terwujudnya interaksi dengan siswa secara lebih bijak, penuh empati dan menjadi sosok yang menyenangkan di hadapan siswanya.
7. Menilai hasil pembelajaran yang adil.
Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan dapat mambantu guru dalam mengembangkan penilaian pembelajaran siswa yang lebih adil, baik dalam teknis penilaian, pemenuhan prinsip-prinsip penilaian maupun menentukan hasil-hasil penilaian.